LAPANGAN PANCASILA SIMPANG LIMA SEMARANG : LAPANGAN PADA HARI KERJA – TAMAN RAKYAT PADA AKHIR PEKAN




(catatan dari orang awam)

Beberapa dan mungkin sebagian besar ruang hijau terbuka publik di Kota Semarang pada umumnya , di sebagian besar waktunya hanya sehamparan ruang pasif – jauh (memang dijauhkan) dari warga kotanya sendiri. Hanya pada akhir pekan atau pada acara-acara tertentu ruang-ruang publik ini menjadi hidup.

Pada kasus Lapangan Pancasila Simpang Lima Semarang, ruang pulik terbuka yang sepanjang sejarah kota-kota Jawa benar-benar menjadi ruang bagi rakyat (perlu dikaji lebih dalam lagi mengenai catatan sejarah,apakah pengaruh otoritas yang memang menjauhkan ruang rakyat ini dari rakyatnya sendiri), ruang ini bukan menjadi pilihan yang menarik untuk dikunjungi. Masyarakat lebih memilih ruang –ruang ber-AC di sekelilingnya. Pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan ( yang memunculkan gaya hidup urban) yang menyediakan berbagai fasilitas,kemudahan, dan kenyamanan.. Ruang –ruang publik ini sebenarnya menjadi sebuah akumulasi ruang-ruang privat yang dekat dengan tren publik (kita bisa melihat perilaku ‘sebebas-bebasnya’ orang-orang yang berada di mal-mal).

Berbeda dengan pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan yang ada di sekelilingnya,Lapangan Pancasila Simpang Lima tidak memiliki fasilitas yang memberikan berbagai kemudahan dan kenyamanan.

Contoh kasus: kita begitu kesulitan mencari tempat parkir. Sebenarnya ada banyak pilihan tempat parkir, tetapi pada dasarnya belum ada tempat parkir yang mengakomodasi kebutuhan parkir bagi Lapangan simpang Lima itu sendiri. Tempat –tempat parkir yang ada saat ini hanya(dan seharusnya) mengakomodasi kebutuhan parkir di masing-masing fasilitas di sekeliling Lapangan Simpang Lima. Bukan untuk Simpang Lima.

Begitu pula dengan akses menuju Lapangan Simpang lima yang sulit. Lapangan Simpang Lima, tidak dapat dipungkiri berada di tengah-tengah arus mobilitas yang padat, sehingga akses menujunya tidak bisa menjadi prioritas. Yang dapat dilakukan saat ini hanya berkompromi, tetapi di masa depan, langkah kompromi yang cerdaslah yang mutlak difasilitasi untuk kebutuhan akses menuju Lapangan Simpang Lima, yang tidak menghambat mobilitas padat di sekelilingnya.

Wacana serupa ternyata menjadi umum di kota-kota negeri ini. Di Jakarta misalnya, mengutip tulisan Marco Kusumawijaya (arsitek yang mendorong perkembangan greenmap di Indonesia):
Dalam Imagining Jakarta, kolaborasi antara arsitek dan seniman, salah satu saran kami adalah menurunkan permukaan Bundaran HI menjadi suatu sunken plaza, dan membuatnya dapat dimasuki oleh pejalan kaki melalui terowongan di bawah jalan lingkarnya, yang digali dari keempat sudut jalan yang mengelilingi bundaran itu. Ini akan mencegah terjadinya konflik dengan lalu lintas....

Lapangan Simpang Lima, bila ia sebagai taman kota, ia tidak memiliki satupun tempat untuk duduk-duduk, untuk sekadar bersantai menikmati sensasi salah satu ruang terbuka hijau di tengah-tengah hiruk-pikuk kota.

Simpang Lima yang berwujud sebuah lapangan yang cukup luas ini bahkan tidak diperbolehkan untuk aktivitas olahraga lapangan, seperti sepak bola (dengan alasan dapat merusak lapangan tetapi mengapa konser-konser diperbolehkan di sana? Apakah logika ekonomi telah bermain di sini?). Mungkin saja hal ini terkait dengan doktrin kewibawaan suatu alun-alun bagi sebuah kota. Terlebih bagi sebuah kota yang ternyata gagal mempertahankan alun-alun asli kotanya. Atau bisa saja karena pengaruh negatif olahraga tersebut karena tidak secara cermat difasilitasi.

Bila kita mundur ke masa lampau, mungkin saja Lapangan simpang Lima memang dirancang hanya sebagai lapangan upacara, sebuah lapangan milik pemerintah. Sedangkan berbagai fasilitas publik di bidang religi, olahraga, budaya, dan pendidikan berada di sekelilingnya.

Saat ini kawasan ini telah berubah, sebagian besar menjadi fasilitas perbelanjaan dan hiburan. Hanya Masjid Baiturahman yang masih berdiri dan SMK 7 masih yang terus berjuang mempertahankan keberadaannya.

Fenomena di Lapangan Simpang Lima terus berlanjut. Pada akhir pekan, lapangan ini berganti muka menjadi ruang publik yang hidup. Berbagai kalangan masyarakat ada di dalam sebuah pasar rakyat. Bukan hanya golongan menengah kebawah saja yang ada di sana, bebrapa dan mungkin saja banyak golongan yang lebih tinggi juga ada, membaur di dalam keramaian.

Ruang publik ini menjadi akrab (ruang-ruang privat yang publik, tidak terlalu individualis bila dibandingkan dengan mal-mal) , akrab tapi tidak terlalu intim karena di sana masih terdapat sisa-sisa kultur masyarakat Jawa. Coba bayangkan bila di sini ada orang yang berpenampilan sebebas di mal-mal.

Di antara kultur-kultur itu yakni cara bertransaksi tradisional. Di pasar rakyat ini orang-orang bisa saling tawar-menawar (bila di Jogja pasar serupa memiliki interaksi dua arah, orang bisa memperjualbelikan barang yang dimilikinya, di Simpang Lima Semarang belum demikian halnya). Dengan sistem transaksi seperti ini, sedangkan pertumbuhan populasi pedagang tidak terkendali, lapangan Simpang Lima mudah sekali disusupi orang-orang dari manapun yang ingin mengais rezeki. Orang bebas berdagang di pasar rakyat ini sehingga sulit dibedakan mana yang legal dan mana yang ilegal (bagaimana mungkin muncul istilah legal dan ilegal jika mereka sama-sama dipungut ‘retribusi’ ? ).

Suasana seperti ini menimbulkan kesemrawutan massa. Bukan hanya persoalan kesemrawutan para pedagang, melainkan juga persoalan yang lebih kompleks. Arus lalu lintas kendaraan beradu dengan arus pejalan kaki. Tidak adanya fasilitas parkir yang memang benar-benar diperuntukkan untuk pengguna Lapangan Simpang Lima juga sangat mengganggu. Akibatnya terjadi penjajahan kapasitas jalan, parkir-parkir yang disebut liar kemudian bermunculan di tepi lapangan ini. Masalah kebersihan. Belum lagi bila hujan deras mengguyur kawasan ini.

Apapun yang terjadi di Lapangan ini bisa menggambarkan publik itu sendiri dan gambaran kerumunan masyarakat di dalam suatu civic square menimbulkan citra bagi Kotanya. Kesemrawutan seperti ini jangan sampai dimatikan (seperti pemahaman penataan ulang kawasan dengan penggusuran tanpa pangkal ujung), tetapi penataan yang baik dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan berbagai pihak.
(suraoriginal)

Komentar

Postingan Populer