Mi Ayam Pak Pin


Menjelang sore, awan hitam sudah menggantung di langit kota. Mumpung hujan belum turun dan perut sudah lapar ,kali ini hanya satu tempat makan yg ingin saya datangi , Mi Ayam Pak Pin.

Terletak di tengah perkampungan Indraprasta Semarang, di dekat jalur kereta antara stasiun Poncol dan jembatan banjirkanal barat. Warung mi ayam ini hampir selalu ramai, sebagian besar orang tertarik karena harganya yg murah. Dulu, sekitar tahun 2005 saat mi ayam satu porsi umumnya seharga 2500, mi ayam Pak Pin dijual dengan harga 1000 satu porsi. Gila! Setengah harga. Sampai-sampai ada opini ramai menyebut mi ayam ini menggunakan daging tikus. Alih-alih menjadi sepi, warung mi ayam Pak Pin tetap saja ramai diminati sampai sekarang, 2013. Harga satu porsi mi ayam Pak Pin tetap saja setengah harga pasaran mi ayam pada umumnya, 3500! 8 tahun hanya naik 2500?!

Tak bisa dijelaskan dengan tepat, kenapa setiap kali pulang ke Semarang saya selalu menyempatkan makan di warung mi ayam ini. Harganya yg murah? Bisa jadi, tapi bukan karena faktor ekonomis alasannya, terlebih lokasi mi ayam Pak Pin cukup jauh dari rumah ,di daerah Semarang atas. Rasa? Rasa mi ayam ini tidak bisa dibilang paling enak, untuk ukuran mi ayam kampung biasa saja lah, masih banyak yg lebih enak. Dulu, pernah juga ada warung mi ayam di Jalan Hasanudin, masih dekat dengan stasiun Poncol, yg menawarkan harga bersaing dengan mi ayam Pak Pin, rasa pun lebih enak (mi-nya mirip dengan mi ayam Pak Teguh di dekat Hotel Siranda yg selalu ramai), tapi tak bertahan lama kemudian tutup.

Bisa jadi alasan yg mendekati tepat adalah romantismenya. Ada suatu masa saat masih berseragam putih abu-abu, datang ke warung itu hanya untuk berlomba makan sebanyak-banyaknya. Tak pernah satu mangkok cukup, minimal 2, pernah ada teman sampai 7 mangkok. Ada juga teman yg ingin mengalahkan rekor tersebut, tapi baru 4 mangkok langsung kapok.  Ada juga masa ketika datang makan dengan berbekal gula pasir hanya karena ingin nambah es teh tanpa membayar lagi (waktu itu di setiap meja disediakan teko berisi teh tawar untuk tambahan minuman). Masa-masa anak sekolah, ngirit tak punya cukup duit :p.

Kekaguman saya pada mi ayam ini adalah konsistensinya menyediakan makanan yang sangat terjangkau. Pak Pin sepertinya cukup tau bagaimana menyiasati agar harga satu porsi mi ayam tetap rendah. Mulai dari kuantitas porsi yg lebih sedikit, bahan dasar mi sampai ke racikan ayam cincangnya. Mi-nya sendiri agak lain, seperti mi yang tidak mengembang tak matang, jarang bahkan tidak pernah saya temui pada mi ayam-mi ayam kelas kampung kebanyakan. Bisa jadi Pak Pin membuat sendiri mi-nya. Racikan ayam cincangnya benar-benar cincang, semua dicincang sampai ke tulang-tulangnya. Kadang dioplos dengan daging yg tak terduga. Saya pernah menemui ada cincangan daging ikan "Pe" (panggang pari). Di luar itu saya tak pernah berfikir negatif Pak Pin akan memakai daging tikus atau daging beracun lain, toh hingga saat ini, warung mi ayam ini masih bertahan, bahkan pelayanannya berkembang lebih baik : lebih luas warungnya, lebih bersih, porsinya lebih banyak, dan tetap "trully fast-food" (saat kita datang, pesan, duduk di bangku, tunggu beberapa detik mi ayam sudah datang, cepat sekali).

Soal peningkatan pelayanan. Pernah suatu ketika, mungkin tahun 2006, mi ayam Pak Pin buka cabang baru. Anehnya cabang baru itu masih dekat, kurang lebih 200meter dengan lokasi warung utama. Terlalu dekat menurut saya, masih di kampung itu-itu juga. Cabang baru itu menawarkan tempat yg lebih sepi, tapi pelayanannya tidak secepat di warung utama. Hanya beberapa bulan bertahan cabang itupun ditutup.

Entah sampai kapan saya akan terus ke warung mi ayam ini. Beberapa teman bahkan sudah heran kenapa saya masih suka ke warung ini. Memang bukan makanan "berkelas" (siapa yg sudah naik kelas?), tapi saya tetap saja kagum Pak Pin masih bertahan menyediakan makanan yg tidak sederhana dengan harga sangat sederhana. Sementara sebagian teman mulai bangga bisa makan di tempat makan mewah, saya lebih bersyukur bisa tetap makan di warung sederhana ini.Saya pikir Romantisme seperti ini butuh tetap hidup agar kita jangan sampai lupa. Saya sendiri tidak ingin lupa suatu saat nanti.

Saya lihat langit masih saja hitam tapi belum turun hujan, mudah-mudahan sore di libur natal ini Semarang juga ikut-ikutan turun salju seperti di Arab.

Semarang, 25 Desember 2013
Saya tidak ingin kroscek, cerita ini sendiri ingin subjektif.

Komentar

Unknown mengatakan…
Itu t4 makan favorit sy semasa SMP........karena letaknya gak begitu jauh dari sekolah saya di SMP Ibu Kartini .......waktu itu 1porsi seharga rp.1000.-
cukup murah buat kantong pelajar yg gampang bolong.....hehehe....
Soal rasa sih gak terlalu istimewa.....n s4 juga ngira kalo pake campuran daging yg aneh2......tpi klo di pikir2 gak dwech cz porsinya jg gk sebanyak mi ayam2 lain.......
ini 1porsi cm½ mangkok......jd pantes lah klo di jual murah.......

Postingan Populer